Di tengah kondisi sulit dan pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, salah satu hal yang paling terdampak adalah sektor ekonomi termasuk matapencaharian. Ratusan ribu penduduk kehilangan pekerjaan dan semakin kesulitan mengakses sumber-sumber penghidupan. Dampak ini dirasakan lebih oleh penyandang disabilitas termasuk Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) atau disabilitas karena kusta, mengingat pada situasi biasa saja, kesempatan bekerja dirasakan sangat minim. Ditetapkannya UU No 19/2011 tentang ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) yang kemudian diperkuat dalam UU No. 8 /2016 tentang Penyandang Disabilitas, merupakan peluang untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif terhadap penyandang disabilitas. Hal itu dapat terjadi karena UU ini menjamin adanya penghormatan martabat yang melekat dan otonomi setiap orang dengan menekankan prinsip non-diskriminatif, partisipasi penuh, kesetaraan kesempatan, aksesibilitas dan penghormatan atas kapasitas penyandang disabilitas dalam berbagai aspek, termasuk aspek matapencaharian. Di beberapa wilayah baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, UU disabilitas juga telah diturunkan ke dalam beberapa peraturan turunan berupa Perda, Pergub, Perbup, maupun Perwali. Namun, adanya regulasi tidak serta merta berdampak langsung pada peningkatan akses pekerjaan dan kewirausahaan bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, pemerintah lokal dan aktor ketenagakerjaan lainnya masih belum memiliki pemahaman konkrit bagaimana mewujudkannya serta minimnya referensi model program dalam mendorong perluasan peluang kerja bagi penyandang disabilitas dan OYPMK. Sekalipun sudah ada inisiatif program/kegiatan untuk peningkatan ekonomi bagi PD, seringkali ini masih menggunakan paradigma lama, dimana PD dan OYPMK dipandang sebagai kelompok marjinal yang harus dibantu dengan menggunakan pendekatan charity atau amal. Pandangan lain menyebut bahwa, Penyandang Disabilitas dan OYPMK seringkali dianggap sebagai angkatan kerja yang sulit memenuhi kualifikasi kebutuhan pasar kerja dan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomi bagi perusahaan, terlebih saat ini tak sedikit perusahaan yang merugi karena pandemi. Sementara itu, dari sisi penyandang disabiilitas, stigma diri dan aksesibilitas lingkungan masih menjadi hambatan terbesar dalam memasuki dunia kerja. Seiring berkembangnya gerakan advokasi terhadap topik inklusif disabilitas, inisiatif dalam mendorong sistem ketenagakerjaan yang inklusif pun mulai bermunculan. Beberapa inisiatif telah dikembangkan dan dilakukan oleh banyak pihak baik yang difokuskan untuk kesiapan angkatan kerja disabilitas, maupun yang ditujukan untuk kesiapan bagi aktor ketenagakerjaan lainnya seperti badan-badan usaha dan perusahaan swasta sebagai penyedia kerja, serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Saat ini, fokus kedua menjadi penting untuk dikawal mengingat lapangan kerja yang semakin terbatas, ditambah adanya kebijakan baru yang kontraproduktif. Untuk itu, optimisme akan pemenuhan hak kerja bagi penyandang disabilitas dan OYPMK harus tetap kuat digaungkan melalui diskusi-diskusi yang melibatkan semua pihak. Tujuan dari Diskusi tematik ini adalah untuk: Membuka ruang berbagi informasi dan diskusi para aktor pembangunan terkait ketenagakerjaan yang inklusif bagi penyandang disabilitas dan OYPMK Membagikan informasi tentang kebijakan dan program dalam mengawal perluasan peluang kerja bagi PD dan OYPMK Membagikan pengalaman tentang inisiatif-inisiatif dalam mendorong sistem ketenagakerjaan inklusif yang intervensinya difokuskan pada pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan penyelenggara program kesiapan kerja serta kepada badan usaha/perusahaan sebagai penyedia kerja Membagikan pengalaman tentang praktik penyelenggaraan lingkungan kerja inklusif serta tantangannya Menyusun rekomendasi para pihak untuk meningkatkan kesiapan para aktor ketenagakerjaan dalam mewujudkan pemenuhan hak kerja bagi Penyandang Disabilitas