Banyak persoalan yang dihadapi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam mengembangkan usahanya. Hal tersebut diungkapkan pelaku UMKM dalam pertemuan lanjutan inisiasi pembentukan Forum UMKM Indonesia, di Rumah Makan Nasi Uduk di Jalan mangkubumi, Yogyakarta, Rabu (8/7) lalu. Pertemuan dalam upaya pembentukan Forum UMKM Indonesia ini diselenggarakan Rumah Suluh yang didukung oleh Media Pressindo, Dashboard Ekonomi Kerakyatan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, serta Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Dalam pengantarnya, Dr. R Maryatmo Dosen Faultas Ekonomi UAJY mengatakan bahwa inisiasi pembentukan Forum UMKM Indonesia ini berawal dari terbitnya buku Ekonomi Berdikari karya Prof. Gunawan Sumodiningrat, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang kemudian dibedah dalam seminar di Kulon Progo. Dalam buku tersebut, lanjut Maryatmo, ada tiga prinsip yang disampaikan, yakni one person one product (OPOP), One Village One Product (OVOP) dan One Village One Corporation (OVOC). “Saya menangkap maksud dari One person one product merupakan esensi dari adanya manusia, yakni berkarya dan berkerja untuk menghasilkan sesuatu,” jelas Maryatmo. Sedangkan prinsip one village one product mendorong kita untuk saling berkerja sama sebagai mahluk sosial. Saling gotong royong, karena pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama akan lebih mudah dan efesien. Sedangkan One village one corporation, mendorong kita untuk berkerja sama dalam sebuah institusi, yang punya legalisasi dan aturan. Pelaku-pelaku UMKM yang hadir dalam pertemuan tersebut, pertemuan tersebut menyampaikan pengalaman dalam mengelola dan mengembangkan usahanya. Salah satunya adalah Rollis Anita pelaku UMKM dari Kulon Progo, yang mengeluh kesulitan mendapatkan izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Selain itu, Rollis juga mengeluhkan sulitnya mengakses permodalan sebab harus memiliki jaminan. “Kami kesulitan dalam pengurusan izin PIRT, karena standart yang ditentukan terlalu tinggi. Kami kesulitan untuk memenuhi standart peralatan maupun bangunan tempat produksi yang terlalu tinggi,” ujarnya. Sementara Ari Purjantati dari KSU Hapsari Kulon Progo yang memproduksi teh dan kopi Suroloyo kesulitan untuk mengembangkan usahanya. “Kami pernah mendapatkan tawaran untuk ekspor kopi, tetapi standart yang diajukan oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) serta pembeli di luar negeri sulit kami penuhi,” tuturnya. Bantuan dari pemerintah pun tidak banyak membantu usaha kelompoknya. “Kami selama ini memproduksi teh dan kopi tapi bantuan dari pemerintah malah peralatan untuk pengolahan kakao. Bantuan alat tersebut diberikan tanpa pelatihan, sehingga sampai saat ini tidak terlalu optimal,” tambahnya. Ari juga mengharapkan adanyak dukungan dari kalangan kampus untuk mendukung usahanya. Penelitian-penelitian tentang pengolahan kopi, dirasakannya sangat membantu. “Kami selala ini mengolah kopi hanya dengan perkiraan, tanpa ada riset. Misalnya tingkat kekeringan kopi berapa persen untuk menghasilkan rasa yang terbaik, hanya kira-kira saja. Harapan kami ada dukungan kampus untuk mendampingi,” jelasnya. Hertogen juga pelaku UMKM dari Kulon Progo berharap persoalan-persoalan pelaku UMKM ini dapat bersama diselesaikan oleh Forum UMKM yang akan dibentuk. Ia mengharapkan ada pertemuan rutin agar organisasi yang dibentuk dapat berkelanjutan. “Usulan saya jika diperlukan kita ada iuran pokok atau wajib, sehingga dapat digunakan untuk saling membantu pelaku UMKM yang membutuhkan,” tandasnya. (et)